-
KONFLIK lahan sawit
antara PT Nafasindo/Ubertraco, perusahaan milik Malaysia dengan
masyarakat Singkil berbuah demonstrasi. Sejumlah mahasiswa asal Singkil
bertindak anarkis membakar replika bendera “Jalur Gemilang” Malaysia di
depan gedung Konsul Jenderal (Konjen) Malaysia di Medan.
Mereka
juga turut mengultimatum Konjen Malaysia untuk segera menyelesaikan
kasus penyerobotan tanah warga Singkil yang diduga dilakukan perusahaan
milik Malaysia, paling lambat Jumat, 3 Juni 2011. Tudingan penyerobotan
tanah milik warga Singkil dibantah keras oleh Direktur PT Nafasindo, Mat
Sobri. Malah, rakyat Singkil-lah yang menyerobot lahan PT Nafasindo,
ungkap Mat Sobri (Serambi Indonesia, 28/5/2011). Sebelum diputuskan
pengadilan, kita tidak tahu siapa yang benar dan salah! Yang sudah pasti
salah adalah pihak yang main hakim sendiri dan bertindak di luar
ketentuan hukum.
Konflik lahan sawit yang berujung pada tindakan
anarkis dan melibatkan investor asing di Aceh, sungguh menyesakkan dada
dan memalukan. Apalagi ini terjadi di tengah gencarnya pemerintahan Aceh
mengundang para investor asing untuk berinvestasi ria di Bumoe Aceh. Di
satu sisi pemerintah Aceh “Pula Pingkui” (membanting-tulang) membujuk
investor asing menanam modal mereka di Aceh, namun di sisi lain, rakyat
Aceh mengusir mereka. Pemerintahan Aceh telah mengunjungi banyak negara
baik di Eropa, Amerika, maupun Asia agar sudi berinvestasi di Aceh.
Namun, investor asing yang sudah berada di Aceh tidak diperlakukan
seperti layaknya seorang tamu, walaupun “Peumulia Jamee Adat Geutanyoe”.
Fenomena ini persis “seperti monyet menangkap belalang” (Lagée Bue Dröp
Darút). “Yang belum dapat terus dicari, yang sudah digengaman
dilepaskan”.
Upaya pemerintah mengundang investor asing masuk
Aceh, juga tidak ubahnya seperti seorang Ayah yang sedang mencari jodoh
(Lintoe Baroe) untuk anak daranya. Sang Ayah membujuk pemuda tampan dan
beriman agar sudi datang ke rumahnya dengan harapan si pemuda tersebut
jatuh hati dan kawin dengan anak daranya. Sialnya, semua pemuda yang
datang, satu pun tidak berkenan untuk mengawini anak daranya. Sebab,
ketika para pemuda yang datang ingin melihatnya, si anak dara tersebut
selalu berpenampilan kotor, busuk, dan “Meukeuleuthueh”. Berpakaian
lusuh, tidak sikat gigi dan juga menyebarkan bau tapai masam. Walaupun
akhirnya ada seorang pemuda yang nekad mengawininya, mungkin karena buta
warna (Saréu), tapi pihak keluarga si dara--yang merasa pemuda tersebut
bukan calon “lintoe baroe” yang diidamkan--terus menciptakan suasana
konflik dalam rumah tangga yang baru dibina tersebut agar pemuda itu
segera menceraikan anaknya. Itulah ilustrasi perkembangan dunia
investasi di Aceh. Pemerintah telah menghambur-hamburkan duit untuk
meminang investor asing masuk Aceh, namun rakyat dan bahkan pemerintah
Aceh sendiri belum siap menerimanya.
Untuk menarik investor asing
masuk Aceh, ada beberapa tindakan strategis yang mesti dilakukan.
Pertama, pemerintah Aceh perlu menyediakan insentif investasi bagi
investor asing. Misalnya dengan meringankan beban pajak yang harus
dibayar investor asing, bukannya malah memungut “pajak-pajak liar”,
seperti “pajak nanggroe”, “hak preman”, “Peng Kupi ngon Rukok” dan
pungutan-pungutan siluman lainnya. Manfaat utama masuknya investor asing
haruslah dilihat dari jangka panjang, yaitu penyediaan lapangan kerja
untuk warga Aceh. Kalau rakyat sudah bekerja, rakyat akan hidup
sejahtera, dan aman damai sentosa. Sebaliknya, rakyat miskin rentan
konflik, mudah dihasut dan diadu-domba. Janganlah pemerintah semata-mata
mengharapkan keuntungan jangka pendek dari investor asing dengan
memungut pajak, biaya administrasi dan birokrasi yang berlebihan.
Birokrasi
yang harus dilalui investor asing ketika mengurus surat izin masuk ke
Aceh harus dirampingkan, agar malpraktik “duit bermain di bawah meja”
dapat dihilangkan. Praktik kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) dengan
menjadikan investor asing sebagai mangsa jelas akan menyurutkan nyali
investor asing untuk masuk Aceh, apatah lagi tinggal berlama-lama di
Aceh. Jadikanlah investor asing sabagai “Jamee Geutanyoe” yang
diperlakukan dengan penuh hormat dan santun.
Kedua, agar investor
asing tertarik dengan Aceh, Pemerintah Aceh harus menyediakan fasilitas
dan infrastruktur memadai untuk mendukung kegiatan bisnis dan
investasi. Listrik yang diasosiasikan sebagai “Léntrêp” (mati
berlama-lama) harus berubah menjadi “Tan lén-lén” (tak pernah mati).
Jalan tembus negara mesti senantiasa mulus dan bebas lubang. Janganlah
“gali lubang, tutup lubang” masih terjadi di atas jalan negara.
Ketiga,
perlu menumbuhkan kesadaran publik terhadap pentingya investor asing
dalam membangun ekonomi Aceh. Dengan adanya kesadaran publik ini, maka
rakyat Aceh akan siap dan dengan mudah dapat menerima kedatangan mereka.
Pemerintahan Aceh, melalui dinas terkait, harus menyediakan
“training-training” secara reguler untuk menumbuh-kembangkan kesadaran
masyarakat Aceh terhadap pentingnya investor asing dalam menggenjot
pembangunan ekonomi di Aceh.
Keempat, kestabilan politik dan
ekonomi harus senantiasa di pelihara. Perdamaian Aceh adalah harga mati
yang wajib dipertahankan sampai ke titik darah penghabisan. Janganlah
ketika konflik vertikal Jakarta-Aceh terselesaikan, malah konflik
horizontal antar sesama rakyat Aceh muncul ke permukaan. Kalau terjadi
percekcokan dan malah perkelahian dalam rumah tangga kita, mesti para
tamu “investor asing” tidak berani masuk ranah Aceh.
Kelima,
pemerintah Aceh harus mampu menekan biaya produksi tinggi. Biarpun biaya
buruh di Aceh murah, namun jika biaya bahan mentah dan produksi lainnya
mahal pasti akan menyurutkan nyali investor asing masuk Aceh. Para
investor atau pebisnis pasti mengeluh dengan tingginya biaya untuk
memulai dan mengoperasikan usaha dan bisnis mereka. Akibatnya, kegiatan
produksi tidak efisien dan produk yang dihasilan juga tidak kompetitif.
Akhirnya, risiko investasi juga akan meningkat. Investor asing yang
umumnya takut mengambil risiko, pasti hengkang dari bumi Aceh.
Terakhir,
untuk menarik investasi yang berkualitas masuk ke Aceh, promosi
investasi strategis mesti dilakukan. Untuk menarik investor asing,
pemerintahan Aceh pantang memberikan informasi tidak tepat kepada para
investor potensial. Katakan kepada para calon investor apa adanya. “Bék
Söm Gasien, Peuleumah Kaya”. Kalau tidak, maka ketika para investor
datang ke Aceh dan tidak menemukan apa yang dijanjikan, pasti mereka
akan kecewa karena merasa ditipu. Investor yang kecewa tersebut akan
memberitahukan investor-investor lain agar jangan sekali-kali datang ke
Aceh. Oleh karena itu, sebelum melakukan promosi untuk menarik investor
asing, idealnya Pemerintah Aceh harus membenahi dulu rumah tangganya
sendiri.
Jika ini yang dilakukan pemerintah Aceh, pasti ramai
investor asing yang akan jatuh cinta dan bahkan ‘meminang’ Aceh serta
beranakpinak di bumoe Serambi Mekkah.
* Penulis adalah dosen Fakultas Ekonomi, Unsyiah. Staf Ahli Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Aceh di Malaysia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar