Sabtu, 04 Juni 2011

Investasi Aceh, Lagée Bue Dröp Darút

KONFLIK lahan sawit antara PT Nafasindo/Ubertraco, perusahaan milik Malaysia dengan masyarakat Singkil berbuah demonstrasi. Sejumlah mahasiswa asal Singkil bertindak anarkis membakar replika bendera “Jalur Gemilang” Malaysia di depan gedung Konsul Jenderal (Konjen) Malaysia di Medan.

Mereka juga turut mengultimatum Konjen Malaysia untuk segera menyelesaikan kasus penyerobotan tanah warga Singkil yang diduga dilakukan perusahaan milik Malaysia, paling lambat Jumat, 3 Juni 2011. Tudingan penyerobotan tanah milik warga Singkil dibantah keras oleh Direktur PT Nafasindo, Mat Sobri. Malah, rakyat Singkil-lah yang menyerobot lahan PT Nafasindo, ungkap Mat Sobri (Serambi Indonesia, 28/5/2011). Sebelum diputuskan pengadilan, kita tidak tahu siapa yang benar dan salah! Yang sudah pasti salah adalah pihak yang main hakim sendiri dan bertindak di luar ketentuan hukum.

Konflik lahan sawit yang berujung pada tindakan anarkis dan melibatkan investor asing di Aceh, sungguh menyesakkan dada dan memalukan. Apalagi ini terjadi di tengah gencarnya pemerintahan Aceh mengundang para investor asing untuk berinvestasi ria di Bumoe Aceh. Di satu sisi pemerintah Aceh “Pula Pingkui” (membanting-tulang) membujuk investor asing menanam modal mereka di Aceh, namun di sisi lain, rakyat Aceh mengusir mereka. Pemerintahan Aceh telah mengunjungi banyak negara baik di Eropa, Amerika, maupun Asia agar sudi berinvestasi di Aceh. Namun, investor asing yang sudah berada di Aceh tidak diperlakukan seperti layaknya seorang tamu, walaupun “Peumulia Jamee Adat Geutanyoe”. Fenomena ini persis “seperti monyet menangkap belalang” (Lagée Bue Dröp Darút). “Yang belum dapat terus dicari, yang sudah digengaman dilepaskan”.

Upaya pemerintah mengundang investor asing masuk Aceh, juga tidak ubahnya seperti seorang Ayah yang sedang mencari jodoh (Lintoe Baroe) untuk anak daranya. Sang Ayah membujuk pemuda tampan dan beriman agar sudi datang ke rumahnya dengan harapan si pemuda tersebut jatuh hati dan kawin dengan anak daranya. Sialnya, semua pemuda yang datang, satu pun tidak berkenan untuk mengawini anak daranya. Sebab, ketika para pemuda yang datang ingin melihatnya, si anak dara tersebut selalu berpenampilan kotor, busuk, dan “Meukeuleuthueh”. Berpakaian lusuh, tidak sikat gigi dan juga menyebarkan bau tapai masam. Walaupun akhirnya ada seorang pemuda yang nekad mengawininya, mungkin karena buta warna (Saréu), tapi pihak keluarga si dara--yang merasa pemuda tersebut bukan calon “lintoe baroe” yang diidamkan--terus menciptakan suasana konflik dalam rumah tangga yang baru dibina tersebut agar pemuda itu segera menceraikan anaknya. Itulah ilustrasi perkembangan dunia investasi di Aceh. Pemerintah telah menghambur-hamburkan duit untuk meminang investor asing masuk Aceh, namun rakyat dan bahkan pemerintah Aceh sendiri belum siap menerimanya.

Untuk menarik investor asing masuk Aceh, ada beberapa tindakan strategis yang mesti dilakukan. Pertama, pemerintah Aceh perlu menyediakan insentif investasi bagi investor asing. Misalnya dengan meringankan beban pajak yang harus dibayar investor asing, bukannya malah memungut “pajak-pajak liar”, seperti “pajak nanggroe”, “hak preman”, “Peng Kupi ngon Rukok” dan pungutan-pungutan siluman lainnya. Manfaat utama masuknya investor asing haruslah dilihat dari jangka panjang, yaitu penyediaan lapangan kerja untuk warga Aceh. Kalau rakyat sudah bekerja, rakyat akan hidup sejahtera, dan aman damai sentosa. Sebaliknya, rakyat miskin rentan konflik, mudah dihasut dan diadu-domba. Janganlah pemerintah semata-mata mengharapkan keuntungan jangka pendek dari investor asing dengan memungut pajak, biaya administrasi dan birokrasi yang berlebihan.

Birokrasi yang harus dilalui investor asing ketika mengurus surat izin masuk ke Aceh harus dirampingkan, agar malpraktik “duit bermain di bawah meja” dapat dihilangkan. Praktik kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) dengan menjadikan investor asing sebagai mangsa jelas akan menyurutkan nyali investor asing untuk masuk Aceh, apatah lagi tinggal berlama-lama di Aceh. Jadikanlah investor asing sabagai “Jamee Geutanyoe” yang diperlakukan dengan penuh hormat dan santun.

Kedua, agar investor asing tertarik dengan Aceh, Pemerintah Aceh harus menyediakan fasilitas dan infrastruktur memadai untuk mendukung kegiatan bisnis dan investasi. Listrik yang diasosiasikan sebagai “Léntrêp” (mati berlama-lama) harus berubah menjadi “Tan lén-lén” (tak pernah mati). Jalan tembus negara mesti senantiasa mulus dan bebas lubang. Janganlah “gali lubang, tutup lubang” masih terjadi di atas jalan negara.

Ketiga, perlu menumbuhkan kesadaran publik terhadap pentingya investor asing dalam membangun ekonomi Aceh. Dengan adanya kesadaran publik ini, maka rakyat Aceh akan siap dan dengan mudah dapat menerima kedatangan mereka. Pemerintahan Aceh, melalui dinas terkait, harus menyediakan “training-training” secara reguler untuk menumbuh-kembangkan kesadaran masyarakat Aceh terhadap pentingnya investor asing dalam menggenjot pembangunan ekonomi di Aceh.

Keempat, kestabilan politik dan ekonomi harus senantiasa di pelihara. Perdamaian Aceh adalah harga mati yang wajib dipertahankan sampai ke titik darah penghabisan. Janganlah ketika konflik vertikal Jakarta-Aceh terselesaikan, malah konflik horizontal antar sesama rakyat Aceh muncul ke permukaan. Kalau terjadi percekcokan dan malah perkelahian dalam rumah tangga kita, mesti para tamu “investor asing” tidak berani masuk ranah Aceh.

Kelima, pemerintah Aceh harus mampu menekan biaya produksi tinggi. Biarpun biaya buruh di Aceh murah, namun jika biaya bahan mentah dan produksi lainnya mahal pasti akan menyurutkan nyali investor asing masuk Aceh. Para investor atau pebisnis pasti mengeluh dengan tingginya biaya untuk memulai dan mengoperasikan usaha dan bisnis mereka. Akibatnya, kegiatan produksi tidak efisien dan produk yang dihasilan juga tidak kompetitif. Akhirnya, risiko investasi juga akan meningkat. Investor asing yang umumnya takut mengambil risiko, pasti hengkang dari bumi Aceh.

Terakhir, untuk menarik investasi yang berkualitas masuk ke Aceh, promosi investasi strategis mesti dilakukan. Untuk menarik investor asing, pemerintahan Aceh pantang memberikan informasi tidak tepat kepada para investor potensial. Katakan kepada para calon investor apa adanya. “Bék Söm Gasien, Peuleumah Kaya”. Kalau tidak, maka ketika para investor datang ke Aceh dan tidak menemukan apa yang dijanjikan, pasti mereka akan kecewa karena merasa ditipu. Investor yang kecewa tersebut akan memberitahukan investor-investor lain agar jangan sekali-kali datang ke Aceh. Oleh karena itu, sebelum melakukan promosi untuk menarik investor asing, idealnya Pemerintah Aceh harus membenahi dulu rumah tangganya sendiri.

Jika ini yang dilakukan pemerintah Aceh, pasti ramai investor asing yang akan jatuh cinta dan bahkan ‘meminang’ Aceh serta beranakpinak di bumoe Serambi Mekkah.

* Penulis adalah dosen Fakultas Ekonomi, Unsyiah. Staf Ahli Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Aceh di Malaysia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar